
Tampilkan postingan dengan label Kabar Pesisir Laut. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kabar Pesisir Laut. Tampilkan semua postingan
Reklamasi Teluk Palu untuk Ekonomi Rakyat atau Pemerintah

Pasoso, Benteng Terakhir Penyu Hijau di Jantung Sulawesi

Polda Sulsel tetapkan 2 tersangka pelaku penimbunan laut ilegal
Kombes Pietrus Waine, Direktur Ditreskrimsus Polda
Sulsel, menyebutkan, kedua pihak dinilai melakukan tindak pidana usaha
dan atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan.
Keduanya dinilai melanggar Pasal 36 Ayat (1) Subs Pasal
109 UU RI Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Dalam Pasal 109 disebutkan, setiap orang berusaha
tanpa memiliki izin lingkungan, dipidana penjara paling singkat satu
tahun dan paling lama tiga tahun dan denda paling sedikit Rp1 miliar
atau paling banyak Rp3 miliar.
Najmiah, pada Oktober–November 2013, menimbun laut di
sekitar Jalan Metro Tanjung Bunga, depan Rumah Sakit Siloam, seluas 30
ribu meter persegi. “Pelaku menimbun laut atau reklamasi tanpa
dilengkapi izin kelayakan lingkungan dan izin reklamai dari instansi
berwenang,” katanya.

DDC Kampanyekan perlindungan terumbu karang di hari Kemerdekaan
DONGGALA-Sebanyak 15 orang penyelam yang tergabung dalam Donggala
Diving Club (DDC) yang selama ini konsern terhadap perlindungan terumbu
karang dan biota laut melakukan aksi kampanye bersamaan pada hari
kemerdekaan Republik Indonesia ke-68 lalu.
Sofandi Sohar ketua DDC mengatakan terumbu karang merupakan salah satu potensi sumber daya laut yang sangat penting di Indonesia. Sumber daya terumbu karang merupakan salah satu sumber pendapatan utama dan bagian dari hidup nelayan.
“Terumbu karang juga mempunyai nilai estetika sangat tinggi yang dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata yang dapat meningkatkan devisa negara. Secara fisik karang melindungi pantai dari degradasi dan abrasi,”ujar Sofandi Sohar.
Didi menambahkan disamping itu terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai tempat memijah, mencari makanan, daerah asuhan dari berbagai biota laut dan sebagai sumber plasma nutfah serta merupakan sumber berbagai makanan dan bahan baku substansi bioaktif yang berguna dalam bidang farmasi dan kedokteran.
Sofandi Sohar ketua DDC mengatakan terumbu karang merupakan salah satu potensi sumber daya laut yang sangat penting di Indonesia. Sumber daya terumbu karang merupakan salah satu sumber pendapatan utama dan bagian dari hidup nelayan.
“Terumbu karang juga mempunyai nilai estetika sangat tinggi yang dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata yang dapat meningkatkan devisa negara. Secara fisik karang melindungi pantai dari degradasi dan abrasi,”ujar Sofandi Sohar.
Didi menambahkan disamping itu terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai tempat memijah, mencari makanan, daerah asuhan dari berbagai biota laut dan sebagai sumber plasma nutfah serta merupakan sumber berbagai makanan dan bahan baku substansi bioaktif yang berguna dalam bidang farmasi dan kedokteran.

Kejaksaan didesak periksa penambang di Loli
Kejaksaan Negeri (Kejari) Donggala didesak melakukan pemeriksan terhadap kegiatan reklamasi pantai untuk kegiatan tambang galian C di sepanjang Pantai Desa Loli, Kecamatan Banawa. Sebab diduga telah mengabaikan undang-undang lingkungan sehingga terjadi pelanggaran hukum dalam prosedur perizinanmaupun tahapan lainnya. Selain itu pembiaran reklamasi pantai akan merusak biota laut dan dampaknya akan dirasakan nelayan tradisional ditepi pantai teluk Palu. Apalagi akan mem-pengaruhi pembudidayaan rumput laut. Sebelumnya beberapa kelompok pemerhati lingkungan melakukan kecaman adanya reklamasi pantai untuk penambangan galian C.”Banyaknya pembukaan tambang galian C ini dapat mendatangkan masalah baru seperti masalah ekologi dan sosial, apalagi kontribusi perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar selama ini sangatlah kurang yang meskipun hal tersebut telah menjadi bagian dari CSR (corporate social responcibility),” kata Direktur Bone Bula, Andi Anwar pada wartawan, Senin (7/3).
Beberapa waktu lalu Kepala Badan Lingkungan Hidup(BLH) Kabupaten Donggala, Ibrahim Drakel telah memperingati pengusaha tambang.”Dari BLH jika dengan alasan berdampak lingkungan, kita harus teliti baru ada alasan untuk menegur. Yang pasti mereka sudah membangun tanpa izin,” jelas Ibrahim Drakel. Sementara itu sebuah sumber yang tak mau disebutkan namanya menyatakan pekan ini beberapa pemilik perusahaan yang beroperasi di Loli jalur jalan trans Donggala-Palu akan dimintai keterangan di Kejaksaan Negeri Donggala.”Tetapi bukan soal kerusakan lingkungan, melainkan tentang pembayaran pajak yang tidak jelas,”kata sumber tersebut. Sementara itu Kasi Pidsus Kejari Donggala, Candra belum mau banyak berkomentar soal itu. Sebab menurutnya mengenai galian tambang C nanti kepala Kejari Donggala yang akan memberi keterangan. Alasan lain aktivis lingkungan menolak pertambangan di jalur jalan Donggala-Palu, karena dinilai rawan erosi dan akan merubah benteng alam menyebabkan keseimbangan ekologi akan terganggu. Pantai Donggala yang memang saat ini telah masuk pada fase krisis akan makin parah, demi meraup pendapatan. (JAMRIN AB)
Beberapa waktu lalu Kepala Badan Lingkungan Hidup(BLH) Kabupaten Donggala, Ibrahim Drakel telah memperingati pengusaha tambang.”Dari BLH jika dengan alasan berdampak lingkungan, kita harus teliti baru ada alasan untuk menegur. Yang pasti mereka sudah membangun tanpa izin,” jelas Ibrahim Drakel. Sementara itu sebuah sumber yang tak mau disebutkan namanya menyatakan pekan ini beberapa pemilik perusahaan yang beroperasi di Loli jalur jalan trans Donggala-Palu akan dimintai keterangan di Kejaksaan Negeri Donggala.”Tetapi bukan soal kerusakan lingkungan, melainkan tentang pembayaran pajak yang tidak jelas,”kata sumber tersebut. Sementara itu Kasi Pidsus Kejari Donggala, Candra belum mau banyak berkomentar soal itu. Sebab menurutnya mengenai galian tambang C nanti kepala Kejari Donggala yang akan memberi keterangan. Alasan lain aktivis lingkungan menolak pertambangan di jalur jalan Donggala-Palu, karena dinilai rawan erosi dan akan merubah benteng alam menyebabkan keseimbangan ekologi akan terganggu. Pantai Donggala yang memang saat ini telah masuk pada fase krisis akan makin parah, demi meraup pendapatan. (JAMRIN AB)
Sumber : Media Alkhairaat 8 Maret 2011

Bonebula Minta Reklamasi dihentikan
Yayasan Bonebula yang konsern pada lingkungan meminta penimbunan pantai atau reklamasi pantai, di wilayah pesisir Kabupaten donggala dihentikan, karena dinilai semakin tidak bisa dikontrol lagi oleh pihak Pemerintah Kabupaten Donggala." selain merusak kosistem pesisir dan laut juga mengganggu pelestarian sumber daya hayati, kerusakan spesies mangrove, terumbu karang, padang lamun, yang memiliki fungsi bagi kehidupan berbagai biot laut diwilayah pesisir dan laut,"kata Koordinator Departemen Advokasi dan Pengkajian Pesisir dan laut Yayasan Bonebula, Erni Juliani Fauziah dalam rilisnya, yang diterima Media Alkhairat, Ahad(6/3).

Pohon Bakau Terancam di Donggala
DONGGALA-penggusuran tanaman pohon bakau atau mangrove dikawasan pantai kelurahan tanjung batu dan kelurahan kabonga kecil, Kacamatan Banawa kabupaten donggala semakin mengkhawatirkan. Kekhawatiran itu diungkapkan Andi Anwar pemerhati lingkungan dari Yayasan Bone Bula Donggala, Senin (21/2) terkait tanaman bakau tidak lagi terurus.
"Padahal tanaman bakau telah lama hidup dipantai kota Donggala itu bukan saja menjadi penghambat abrasi, tetapi menjadi habitat berbagai hewar air. Cuma saja belakangan ini terancam punah dengan penimbunan pantai untuk jalan lingkar," ungkap Anwar
"Padahal tanaman bakau telah lama hidup dipantai kota Donggala itu bukan saja menjadi penghambat abrasi, tetapi menjadi habitat berbagai hewar air. Cuma saja belakangan ini terancam punah dengan penimbunan pantai untuk jalan lingkar," ungkap Anwar
Menurutnya, ancaman bakau didonggala bukan saja adanya reklamasi pantai, tetapi ada pula pembuangan limba plastik daur ulang dikelurahan tanjung batu. Akibatnya selain merusak ekosistem yang ada, juga dirasakan dampaknya bagi nelayan tradisional yang selama ini hanya mengandalkan penangkapan ikan di pesisir pantai kota Donggala.
Paling memprihatinkan belakangan ini dikawasan tanjung karang belakangan sering di temui ular air yang sebelumnya tak lazim muncul. Pihak Bone Bula menduga kalau ular yang muncul ditepi pantai Tanjung karang itu merupakan migrasi dari hutan bakau yang rusak di tanjung batu. "tetapi itu baru dugaan sementara," kata Anwar.(Jamrin AB)
(Sumber : Media Alkhairaat 22-02-2011)

Tambang Galian C : JATAM DESAK PEMKAB DONGGALA BATALKAN IZIN
PALU-Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulteng mendesak Pemerintah Kabupaten (PEMKAB) Dongaala membatalkan izin pada CV. Indopol untuk mengelola tambang galian C di Desa Sibado.
Divisi Riset dan Kampanye JATAM Sulteng, Sjarifah melalui rilisnya, jumat (18/02) mengatakan, saat ini pemerintah seharusnya melakukan evaluasi terhadap sejumlah pertambangan yang ada "sebab sejauh ini publik tidak tau apa yang dihasilkan pertambangan galian c," kata Ifa, sapaannya.
Lebih lanjut ifa menuturkan, paling tidak Pemkab Donggala lebijh dulu melakukan moratorium, bukan malah mengirimkan rekomendasi ke pihak perusahaan untuk mendapatkan kesempatan mengurus izin pertambangan. "satu contoh, kita cukup melihat proses eksploitasi galian C di Loli Oge. Disana kelihatan sekali bagaimana proses eksploitasi sama sekali tidak memberikan valuasi ekonomi yang signifikan terhadap pembangunan masyarakat setempat. Justru, gunung dan sumber-sumber pendapatan ekonomi tradisional mereka dihancurkan," katanya.
Pada kamis dua hari lalu, masyarakat Desa Sibado telah melakukan aksi penolakan eksploitasi galian C tersebut. Saat itu masyarakat meminta pemerintah memberikan perlindungan dan tidak mengintimidasi masyarakat sekitar, melalui selebaran yang isinya pasal - pasal pidana yang berbau ancaman bagi masyrakat yang melakukan penolakan. saat ini Pemkab Donggala menerbitkan 29 IUP Sirtukil khusus untuk Loli Oge. Jumlah perusahaan yang sedang beroperasi di areal tersebut telah mencapai 11 perusahaan, dengan total luasan 490.15 ha. (Rifay)
(Sumber : Media Alkhairaat 19/02/2011)

Sengketa Nelayan - Hago Igur Energy (Nelayan Minta Dilibatkan Dalam Survey)
Mediasi soal sengketa antara nelayan Kecamatan Banawa Kabupaten Donggala dan perusahaan survey minyak dan gas, Hago Igur Energy di selat Makassar yang di fasilitasi oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi sulawesi tengah, senin (18/10) menemukan titik terang. Beberapa kesimpulan yang diambil yakni pembentukan tim kecil, penyertaan nelayan dalam survey, pelampung
harus dikembalikan ke Donggala, harus ada pewakilan perusahaan di Donggala, dan perwakilan jumlah rompong yang rusak serta jumlah pembayarannya.
Sebelumnya dalam rapat tersebut, salah seorang perwaklan masyarakat, Marwan menuntut agar perusahaan menghentikan survey untuk sementara waktu, sambil menyelesaikan persoalan rompong yang terputus akibat survey.
"Kami menyarankan agar survey dihentikan dulu. Harus diperjelas dulu jumlah rompong yang putus, dan yang paling penting bukti-bukti berupa pelampung itu harus dibawah ke Donggala. Kalau survey terus dilakukan, pasti banyak lagi rompong yang kami putus, kalau itu terjadi kami mau makan apa? ", kata Marwan.
Sementara perwakilan nelayan lainnya, Kamarudin saat diberi kesempatan meminta agar nelayan bisa diikutkan dalam survey, menurutnya selama ini perusahaan tidak melibatkan nelayan dalam kegiatannya, bahkan ia mengaku perusahaan tidak melakukan sosialisasi terlebih dahulu atas survey tersebut.
"Kalau kami diikutkan, pasti kami tahu mana saja rompong yang putus. Kalau dua perusahaan yang pernah melakukan survey dulu, melibatkan kami. Tapi kenapa yang ini tidak," katanya.
Ia juga menuntut agar perusahaan menghitung semua jumlah rompong yang putus dan menghitung ganti ruginya. Jika perusahaan mau mendatangkan kapal dan pelampung yang menjadi alat bukti, ia mengaku para nelayan tidak melakukan aksi penyegelan, seperti yang terjadi sebelumnya pada perusahaan yang berbeda.
Henanggapi hal itu, Darsis mengaku bersedia untuk mengganti rugi sesuai kesepakatan bersama. "Pembayarannya bisa dilakukan lewat rekening," kata Darsis.
Ia juga mengaku bisa menyertakan para nelayan dalam survey, namun harus meminta konfirmasi dulu dari Perusahaan. Terkait alat bukti berupa pelampung, kata dia pelampung yang diambil tersebut di bawa ke Balikpapan.
Sementara Hasanuddin Atjo, yang saat itu sebagai moderator mengatakan, seharusnya pihak perusahaan melakukan sosialisasi terlebih dahulu sebelum turun survey. Meski begitu ia memaklumi kesalahan perusahaan.
Dia berpendapat tim kecil yang dibentuk nantinya akan membuat kesepakatan dan melakukan langkah langkah kerja terkait masalah yang terjadi.
"Tim kecil in terdiri dari beberapa perwakilan nelayan, pihak yang perusahaan dan beberapa staf dari dinas. Tim ini akan merumuskan semua langkah - langkah yang akan ditempuh untuk menyelesaikan persoalan," katanya.
Untuk diketahui perusahaan Hago Igur Energy adalah perusahaan Survey Migas yang diberi mandat oleh Kementerian Migas untuk melaksanakan survey di wilayah Selat Makassar. Survey tersebut sudah berlangsung kurang lebih sebulan dan sementara berlangsung hingga kurang lebih dua minggu kedepan. Pada umumnya, survey tersebut harus membersihkan jalur yang dilalui kapal. Akibatnya banyak rompong nelayan yang putus dari tambatannya. (Sahril)
(Sumber : Media Alkhairaat / 19 Oktober 2010)

Nelayan Gelisah Rumpon di Putus Sepihak
Pengabaian Hak Atas Lingkungan Hidup di Teluk Palu
Pemahaman Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana hak sipil politik, hak ekonomi, sosial dan budaya, hak atas pembangunan serta Hak Atas Lingkungan merupakan hak universal yang melekat manusia dan menjadi kewajiban masyarakat serta Negara untuk dtegakkan dan dipenuhi sepanjang masa. Sementara dalam African Charter on Human and People Rights merupakan instrumen yang pertama dalam kawasan regional mengadopsi hak-hak tersebut, Pasal 21 ayat (1) African Charter menyatakan "Semua rakyat dapat secara bebas mengatur segala kekayaan dan sumber daya mereka. hak ini dilaksanakan atas kepentingan ekslusif bangsa. Tidak dibenarkan suatu bangsa marampas upaya penghidupan sendiri". Juga resolusi PBB 1803 (XVII) 14 Desember 1962 bahwa kedaulatan atas sumber daya alam merupakan hak rakyat untuk dengan bebas mengatur kekayaan sumber daya alam mereka, juga dalam resolusi PBB 3281 (XXIX) 12 desember 1974 yang mana salah satu tujuannya adalah guna menciptakan kondisi perlindungan, pelestarian dan peningkatan kualitas lingkungan hidup.
sementara dalam agenda 21 KTT Bumi Rio De Jenario 1992 yang pada intinya juga telah meletakkan paradigma pembangunan berkelanjutan (Sustainable development) sebagai ideology pembangunan. Hak atas lingkungan sebagai HAM, baru dapat pengakuan dalam bentuk kesimpulan oleh sidang komisi tinggi HAM pada bulan april 2001, bahwa " Setiap orang memiliki hak hidup di dunia yang bebas dari polusi bahan-bahan beracun dan degradasi lingkungan hidup". Dalam Konstitusi Negara Kita, pada Amandemen ke-2 UUD 1945, pasal 28H ayat (1) menyatakan: " Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan". Secara tegas juga tercantum dalam pasal 5 dan 8 UU No.23/1997, tentang pengelolaan lingkungan hidup bahwa : " Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat", demikian juga dalam UU No.39/1999 tentang HAM, pasal 3 menyebutkan " masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang lebih baik dan sehat".
secara umum uraian tersebut memperlihatkan betapa pentingnya komponen lingkungan hidup dalam menunjang dan memenuhi hak hidup manusia sebagaimana hak atas lingkungan berkaita dengan pencapaian kualitas hidup manusia. Masih ada begitu banyak kebijakan yang juga secara langsung berhubungan dengan lingkungan seperti UU No.26 tahun 2007 tentang penataan ruang, UU No.27 tahun 2007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, UU No.10 tahun 2009 tentang pariwisata. Tapi ternyata kebijakan tersebut tidak mampu mengendalikan pengrusakan lingkungan. Salah satu sebabnya adalah pelaksana dari kebijakan tersebut justru tidak menjadikannya sebagai landasan dalam pelaksanaan dalam pembangunan. Jika kita lebih khusus apa yang ada kita, menyangkut pengelolaan pesisir pantai dan laut teluk Palu yang berada di dua wilayah ad-ministrasi yaitu Kabupaten Donggala dan Kota Palu, mulai dari pesisir pantai tanjung karang sampai pesisir pantai Lero. Kita akan melihat kerusakan lingkungan pengalihan fungsi kawasan pesisir dan semakin besarnya endapan pasir dari sungai Palu yang bermuara di teluk Palu.
Reklamasi pantai untuk pendirian bangunan permanen yang tidak di dahului dengan analisis dampak lingkungan serta izin mendirikan bangunan (Nanti setelah bangunan berdiri tiba-tiba pemerintah mengeluarkan IMB), Tambang galian C yang debunya sangat mengganggu pengendarav sepeda motor pembuangan limbah kelaut dan masih banyak lagi aktifitas yang merusak lingkungan yang secara nyata telah melanggar UU No.28 Tahun 2002, UU No.27 Tahun 2007 dan UU No.10 Tahun 2009 tentang Pariwisata. tetapi ternyata Pemerintah daerah di dua Wilayah ini SEAKAN ADA SESUATU YANG MEMBUTAKAN MATA, PIKIRAN DAN NURANINYA AKAN HAL INI, secara tiba-tiba izin izin mendirikan bangunan dikeluarkan setelah bangunan berdiri walaupun mendapat protes dari masyarakat sekitar karena telah menghilangkan fungsi dari kawasan pesisir pantai dan nafkah hidup masyarakat setempat.
Pemerintah daerah tidak peduli dengan lingkungan berkelanjutan, kebijakan sektoral yang isinya jelas-jelas hanya untuk kepentingan Pendapatan Daerah (PAD), padahal kalau kita lebih cermat dan lebih menghargai ilmu pengetahuan maka apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan mengeluarakan sebanyak-banyaknya izin pengelolaan pertambangan dan pendirian bangunan di wilayah sempa dan pantai adalah merupakan legitimasi percepatan proses penghancuran lingkungan hidup melalui kebijakan daerah dalam bentuk perda dan izin mendirikan bangunan/restoran/perhotelan disekitar pesisir teluk Palu. para pejabat dan pimpinan daerah, tidak jeli atau memang pura-pura tidak tahu. proses penghancuran lingkungan dengan slogan demi PAD.
Pemerintah Propinsi, Kab. Donggala dan Kota Palu, apabila tidak menyusun konsep pengelolaan teluk palu yang lestari dengan berasaskan bahwa lingkungan hidup merupakan hak asasi manusia yang harus terpenuhi, maka dapat di prediksi bahwa dalam 20 tahun akan datang teluk Palu akan menjadi keranjang sampah dari industri perhotelan, rumah tangga dan juga tambang galian C, dan ini akan dapat menjadi Bom waktu yang siap meledak 20 tahun akan datang, yang bisa dipastikan kerusakannya tidak sebanding dengan PAD yang diperolehnya dan siap dicaci maki oleh anak cucu kita dikemudian hari.
Kalau kemudian Pemerintah Daerah benar-benar tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat dan juga untuk menghindari bencana dikemudian hari, maka harapannya, Pemerintah dapat lebih menghargai hak atas lingkungan hidup dan manusia di sekitar pesisir dan laut teluk Palu, olehnya itu dibutuhkan konsep pengelolaan pesisir dan laut teluk Palu dalam suatu kesatuan dengan tidak menhilangkan wilayah-wilayah Publik dan teluk Palu tidak dilihat dari batas wilayah administrasi Kab. Donggala dan Kota Palu. serta memahami bahwa lingkungan hidup yang bersih, sehat, lestari dan bebas dari ancaman kerusakan, hal itu nerupakan hak setiap individu.
Penulis : Agus Darwis, SH
Wakil Koordinator LPS-HAM Sulteng dan Koordinator Advokasi untuk Keterbukaan Informasi Publik
(Sumber : Media Alkhairaat 11/10/10)
sementara dalam agenda 21 KTT Bumi Rio De Jenario 1992 yang pada intinya juga telah meletakkan paradigma pembangunan berkelanjutan (Sustainable development) sebagai ideology pembangunan. Hak atas lingkungan sebagai HAM, baru dapat pengakuan dalam bentuk kesimpulan oleh sidang komisi tinggi HAM pada bulan april 2001, bahwa " Setiap orang memiliki hak hidup di dunia yang bebas dari polusi bahan-bahan beracun dan degradasi lingkungan hidup". Dalam Konstitusi Negara Kita, pada Amandemen ke-2 UUD 1945, pasal 28H ayat (1) menyatakan: " Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan". Secara tegas juga tercantum dalam pasal 5 dan 8 UU No.23/1997, tentang pengelolaan lingkungan hidup bahwa : " Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat", demikian juga dalam UU No.39/1999 tentang HAM, pasal 3 menyebutkan " masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang lebih baik dan sehat".
secara umum uraian tersebut memperlihatkan betapa pentingnya komponen lingkungan hidup dalam menunjang dan memenuhi hak hidup manusia sebagaimana hak atas lingkungan berkaita dengan pencapaian kualitas hidup manusia. Masih ada begitu banyak kebijakan yang juga secara langsung berhubungan dengan lingkungan seperti UU No.26 tahun 2007 tentang penataan ruang, UU No.27 tahun 2007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, UU No.10 tahun 2009 tentang pariwisata. Tapi ternyata kebijakan tersebut tidak mampu mengendalikan pengrusakan lingkungan. Salah satu sebabnya adalah pelaksana dari kebijakan tersebut justru tidak menjadikannya sebagai landasan dalam pelaksanaan dalam pembangunan. Jika kita lebih khusus apa yang ada kita, menyangkut pengelolaan pesisir pantai dan laut teluk Palu yang berada di dua wilayah ad-ministrasi yaitu Kabupaten Donggala dan Kota Palu, mulai dari pesisir pantai tanjung karang sampai pesisir pantai Lero. Kita akan melihat kerusakan lingkungan pengalihan fungsi kawasan pesisir dan semakin besarnya endapan pasir dari sungai Palu yang bermuara di teluk Palu.
Reklamasi pantai untuk pendirian bangunan permanen yang tidak di dahului dengan analisis dampak lingkungan serta izin mendirikan bangunan (Nanti setelah bangunan berdiri tiba-tiba pemerintah mengeluarkan IMB), Tambang galian C yang debunya sangat mengganggu pengendarav sepeda motor pembuangan limbah kelaut dan masih banyak lagi aktifitas yang merusak lingkungan yang secara nyata telah melanggar UU No.28 Tahun 2002, UU No.27 Tahun 2007 dan UU No.10 Tahun 2009 tentang Pariwisata. tetapi ternyata Pemerintah daerah di dua Wilayah ini SEAKAN ADA SESUATU YANG MEMBUTAKAN MATA, PIKIRAN DAN NURANINYA AKAN HAL INI, secara tiba-tiba izin izin mendirikan bangunan dikeluarkan setelah bangunan berdiri walaupun mendapat protes dari masyarakat sekitar karena telah menghilangkan fungsi dari kawasan pesisir pantai dan nafkah hidup masyarakat setempat.
Pemerintah daerah tidak peduli dengan lingkungan berkelanjutan, kebijakan sektoral yang isinya jelas-jelas hanya untuk kepentingan Pendapatan Daerah (PAD), padahal kalau kita lebih cermat dan lebih menghargai ilmu pengetahuan maka apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan mengeluarakan sebanyak-banyaknya izin pengelolaan pertambangan dan pendirian bangunan di wilayah sempa dan pantai adalah merupakan legitimasi percepatan proses penghancuran lingkungan hidup melalui kebijakan daerah dalam bentuk perda dan izin mendirikan bangunan/restoran/perhotelan disekitar pesisir teluk Palu. para pejabat dan pimpinan daerah, tidak jeli atau memang pura-pura tidak tahu. proses penghancuran lingkungan dengan slogan demi PAD.
Pemerintah Propinsi, Kab. Donggala dan Kota Palu, apabila tidak menyusun konsep pengelolaan teluk palu yang lestari dengan berasaskan bahwa lingkungan hidup merupakan hak asasi manusia yang harus terpenuhi, maka dapat di prediksi bahwa dalam 20 tahun akan datang teluk Palu akan menjadi keranjang sampah dari industri perhotelan, rumah tangga dan juga tambang galian C, dan ini akan dapat menjadi Bom waktu yang siap meledak 20 tahun akan datang, yang bisa dipastikan kerusakannya tidak sebanding dengan PAD yang diperolehnya dan siap dicaci maki oleh anak cucu kita dikemudian hari.
Kalau kemudian Pemerintah Daerah benar-benar tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat dan juga untuk menghindari bencana dikemudian hari, maka harapannya, Pemerintah dapat lebih menghargai hak atas lingkungan hidup dan manusia di sekitar pesisir dan laut teluk Palu, olehnya itu dibutuhkan konsep pengelolaan pesisir dan laut teluk Palu dalam suatu kesatuan dengan tidak menhilangkan wilayah-wilayah Publik dan teluk Palu tidak dilihat dari batas wilayah administrasi Kab. Donggala dan Kota Palu. serta memahami bahwa lingkungan hidup yang bersih, sehat, lestari dan bebas dari ancaman kerusakan, hal itu nerupakan hak setiap individu.
Penulis : Agus Darwis, SH
Wakil Koordinator LPS-HAM Sulteng dan Koordinator Advokasi untuk Keterbukaan Informasi Publik
(Sumber : Media Alkhairaat 11/10/10)

Hutan Bakau Mulai Dilirik sebagai Obyek Perdagangan Karbon
Walikota Makasar bakal mempresentasikan konsep mitigasi dan rencana
tata ruang wilayah (RTRW) pada COP 15 UNFCCC di Kopenhagen. Makasar
salah satu pesisir terbesar di dunia yang rentan terhadap perubahan
iklim, terpilih menjadi kasus yang dipresentasikan. Kegiatan ini
difasilitasi Kementerian Iklim bekerja sama dengan Dewan Teknologi dan
Kebudayaan Denmark. Kabarnya, hutan pesisir mulai dilirik negara
industri sebagai kawasan yang mampu menyimpan karbon.
Pesisir Makasar memiliki keanekaragaman hayati yang dapat memberi
keuntungan timbal balik bagi kehidupan manusia. Sebelum reklamasi Pantai
Losari, wilayah pesisir Makasar memiliki vegetasi bakau,

Reklamasi Pantai Loli Kembali Disorot
Aktivitas Reklamasi Pantai di Desa Loli sekitar Jalur Jalan Donggala-Palu, Kecamatan Banawa kembali mendapat sorotan aktivis lingkungan Donggala. Sebab selain mengkhawatirkan bisa menimbulkan kerawanan kecelakaan di jalan juga telah memperparah kerusakan lingkungan pesisir pantai yang makin rusak.
Sorotan tersebut dikemukakan pihak Yayasan Bone Bula Donggala, berkaitan tidak adanya kepedulian pemerintah dalam pelestarian lingkungan secara maksimal, terutama lingkungan pesisir pantai yang makin rusak.
"setelah dilakukan pembabatan tanaman bakau di tanjung batu dan Kabonga beberapa waktu lalu, kini di lalukan lagi reklamasi pantai di Loli, sehingga semakin memperburuk kawasan pantai yang merupakan sumber mata pencaharian nelayan Teluk Palu" ungkap Andi Anwar Direktur Yayasan Bone Bula, senin (4/10).
Selain itu tambah Anwar reklamasi pantai itu semakin menambah degradasi ekosistem pantai seperti hutan bakau dan terumbu karang. Bahkan pihak Bone Bula merilis saat ini laju kerusakan lingkungan pesisir Donggala sudah mencapai angka 70 persen sehingga bagai mana mungkin menyelamatkan lingkungan ketika secara bersamaan potensi yang ada malah diabaikan demi mengutamakan pendapatan daerah dengan merusak lingkungan.
"Apalagi proyek reklamasi pantai tersebut dianggap telah melanggar undang-undang tentang pengelolaan lingkungan hidup tidak memiliki UKL/UPL,"ujarnya.
Penilaian seneda di ungkapkan pula Iwan Sulaiman yang juga pemerhati lingkungan di Donggala.
Menurutnya, masalah pencemaran pantai yang tidak pernah diselesaikan pemerintah Donggala berupa kasus limbah plastik yang mengotori pantai kelurahan tanjung batu, kini muncul lagi pencemaran pantai dengan reklamasi.
Sulaiman menilai pemerintah lebih mementingkan dan membela perusahaan atas nama investasi ketimbang kepentingan rakyat seperti nelayan. Sebab semakin banyak pembangunan dermaga dan area pertambangan pasir dan kerikil di sepanjang kawasan jalan Donggala-Palu semakin mempersulit bagi nelayan.
Sementara itu pihak pemerintah Donggala dalam hal ini Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH), Ibrahim Drakel mengakui kalau pihaknya juga ikut prihatin. Bahkan Ibrahim mengakui kalau kegiatan reklamasi pantai untuk dua perusahaan yang sedang membangun dermaga tidak memiliki UKL/UPL. "dermaga atau terminal yang sedang ditimbun sekarang atas nama CV Bakal Maju dan Balikpapan Ready Mix tidak ada UPLnya. Mereka hanya menggunakan rekomendasi dari Dinas perhubungan," ungkap Ibrahim Drakel.
Dia menyabut, aktifitas penimbungan untuk dermaga yang ada di Pantai Loli, Jalan Donggala-Palu itu bertentengan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkunga Hidup.
"Kita sudah beri pering-atan tapi tidak direspon dan aktifitas yang mengkhwatirkan itu tetap berlangsung," tandasnya. (Jamrin Abubakar)
(Sumber : Media Alkhairaat 5/10/10)
(Sumber : Media Alkhairaat 5/10/10)

Peran Mangrove dalam mengurangi dampak perubahan Iklim Global
Isu perubahan
iklim global, akhir-akhir ini merupakan wacana yang sedang menjadi pembicaraan
banyak kalangan dari berbagai negara di dunia. Terbukti dengan
diselenggarakannya Konferensi Perubahan Iklim 2009 (UN
Climate Change Conference 2009) atau lebih dikenal dengan sebutan COP 15
yang merupakan KTT internasional mengenai perubahan iklim. Konferensi ini
dibuka di Copenhagen (Denmark) pada hari Senin, 7 Desember 2009 dengan dihadiri
oleh sekitar 15-ribu utusan dari 192 negara. Konferensi yang berlangsung hingga
tanggal 19 Desember 2009 ini merupakan kesempatan yang baik dalam upaya
menjawab tantangan dampak perubahan iklim global.
Problematika
mendasar yang dihadapi dalam KTT PBB tentang Perubahan Iklim (UNCCC 2009) di
Copenhagen adalah tuntutan pengurangan emisi karbon dunia. Hampir sebagian
besar komunitas internasional mendesak agar dunia menghentikan segera
pertumbuhan emisi gas rumah kaca, baik yang ditimbulkan oleh negara-negara industri
maju (USA, Uni Eropa, dan Jepang) maupun negara-negara ekonomi baru (China dan
India). Pengurangan emisi tersebut harus berada di bawah ambang batas yang
ditargetkan selama ini. Nilainya sekitar 25% hingga 40%. Bagi banyak aktivis
lingkungan, angka pengurangan itu malah secara radikal harus ditingkatkan
menjadi 80% hingga 95% pada tahun 2050 agar dampak perubahan iklim tidak sampai
menaikkan suhu global sampai dua derajat Celcius pada tahun tersebut.
Ironisnya, dalam hal ini masih terus terjadi tarik menarik kepentingan antar
negara, utamanya antara negara industri maju dan negara-negara ekonomi baru.
Apa dan
bagaimanakah fenomena perubahan iklim itu….?????
Secara umum iklim
terbentuk sebagai hasil dari interaksi proses-proses fisik dan kimiafisik berbagai
parameternya, seperti suhu, kelembaban, angin, dan pola curah hujan yang
terjadi pada suatu tempat di muka bumi. Untuk mengetahui kondisi iklim suatu
tempat, diperlukan nilai rata-rata parameter tersebut selama kurang lebih 30
tahun. Iklim muncul akibat dari pemerataan energi bumi yang tidak tetap dengan
adanya perputaran/revolusi bumi mengelilingi matahari selama kurang lebih 365
hari serta rotasi bumi selama 24 jam. Hal tersebut menyebabkan radiasi matahari
yang diterima berubah tergantung lokasi dan posisi geografis suatu
daerah. Daerah yang berada di posisi sekitar 23,5 Lintang Utara – 23,5
Lintang Selatan, merupakan daerah tropis yang konsentrasi energi suryanya
surplus dari radiasi matahari yang diterima setiap tahunnya.
Secara alamiah
sinar matahari yang masuk ke bumi, sebagian akan dipantulkan kembali oleh
permukaan bumi ke angkasa. Sebagian sinar matahari yang dipantulkan itu akan
diserap oleh gas-gas di atmosfer yang menyelimuti bumi yang disebut gas rumah
kaca, sehingga sinar tersebut terperangkap dalam bumi. Peristiwa ini dikenal
dengan efek rumah kaca (ERK) karena peristiwanya sama dengan rumah kaca, dimana
panas yang masuk akan terperangkap di dalam rumah kaca dan tidak dapat menembus
ke luar kaca, sehingga dapat menghangatkan seisi rumah kaca tersebut.
Gas rumah kaca
(GRK) adalah gas yang pada saat terakumulasi di atmosfer akan menciptakan
selubung yang kemudian menimbulkan gangguan pada proses pelepasan panas dari
bumi ke luar lapisan atmosfer. Gas yang memungkinkan untuk hal tersebut terjadi
adalah berupa karbondioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (N2O),
hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs) dan Sulphur hexafluoride
(SF6). GRK yang berada di atmosfer tersebut dihasilkan dari berbagai kegiatan
manusia terutama yang berhubungan dengan pembakaran bahan bakar fosil (minyak,
gas, dan batubara) seperti pada pembangkit tenaga listrik, kendaraan bermotor,
AC, komputer, dan lain sebagainya. Selain itu GRK juga dihasilkan dari
pembakaran dan penggundulan hutan serta aktivitas pertanian dan peternakan. GRK
yang dihasilkan dari kegiatan tersebut, seperti karbondioksida, metana, dan
nitroksida, bisa menyebabkan meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer.
Berubahnya
komposisi GRK di atmosfer, yaitu meningkatnya konsentrasi GRK secara global
akibat kegiatan manusia menyebabkan sinar matahari yang dipantulkan kembali
oleh permukaan bumi ke angkasa, sebagian besar terperangkap di dalam bumi
akibat terhambat oleh GRK tadi. Meningkatnya jumlah emisi GRK di atmosfer pada
akhirnya menyebabkan meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi, yang kemudian
dikenal dengan Pemanasan Global. Karena suhu adalah salah satu parameter dari
iklim dan berpengaruh pada iklim bumi, maka terjadilah perubahan iklim secara
global.
Pemanasan global
dan perubahan iklim menyebabkan terjadinya kenaikan suhu bumi, mencairnya es di
kutub, kenaikan paras muka air laut dan gelombang pasang, bergesernya garis
pantai, musim kemarau yang berkepanjangan dan periode musim hujan yang semakin
singkat namun semakin tinggi intensitasnya, Hal-hal ini kemudian akan
menyebabkan tenggelamnya beberapa pulau dan berkurangnya luas daratan,
pengungsian besar-besaran, gagal panen, krisis pangan, banjir, wabah penyakit,
dan lain-lainnya
Apa,
mengapa dan bagaimana Mangrove bisa berperan sebagai pengurang dampak perubahan
iklim……?????
Apabila dilihat
dari struktur katanya, mangrove berasal dari dua kata yaitu mangue/mangal
(Portugish) dan grove (English). Secara umum mangrove dapat didefinisikan
sebagai vegetasi tanaman yang hidup di daerah pesisir diantara garis pasang
surut (pantai, laguna, muara sungai) dengan komunitas tumbuhan yang hidup
di ekosistem mangrove tersebut adalah tumbuhan yang bersifat halophyte, atau
tumbuhan yang mempunyai toleransi tinggi terhadap tingkat keasinan (salinity)
air laut, contohnya adalah jenis pohon Avicennia, Sonneratia, Rhizophora,
Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Egiceras, Scyphyphora
dan Nypa.
Hutan mangrove
yang merupakan ekosistem peralihan antara darat dan laut, sudah sejak lama
diketahui mempunyai fungsi ganda dan merupakan mata rantai yang sangat penting
dalam memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan. Hutan mangrove
juga memberikan manfaat pada masyarakat, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung yaitu sebagai sumber penghasil kayu bakar dan arang,
bahan bangunan, bahan baku pulp untuk pembuatan rayon, sebagai tanin untuk
pemanfaatan kulit, bahan pembuat obat-obatan, dan sebagainya. Secara tidak
langsung hutan mangrove mempunyai fungsi fisik yaitu menjaga keseimbangan
ekosistem perairan pantai, melindungi pantai dan tebing sungai dari pengikisan
atau erosi, menahan dan mengendapkan lumpur serta menyaring bahan tercemar.
Selain itu,
bersama dengan ekosistem pesisir lainnya, yaitu padang lamun dan terumbu
karang, ekosistem mangrove memegang peranan yang sangat vital dalam mitigasi
perubahan iklim melalui penyerapan karbon/emisi CO2 yang merupakan gas rumah
kaca. Proses fotosentesis mengubah karbon anorganik (C02) menjadi karbon
organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini
membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai (C02). Akan tetapi
hutan mangrove justru mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak
membusuk. Karena itu, hutan bakau lebih berfungsi sebagai penyerap karbon
dibandingkan dengan sumber karbon.
Manfaat mangrove
yang begitu besar, telah berperan serta dalam menunjang kehidupan manusia dan
lingkungannya. Namun demikian, manfaat yang sedemikian besar tersebut
seringkali terlupakan, bahkan menjadi terancam karena pemanfaatan mangrove yang
tidak ramah lingkungan.
Luas ekosistem
mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau
sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia
adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Sebaran mangrove di
Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas
penyebaran mangrove terus mengalami penurunan. Berdasarkan data Direktorat
Jendral Rehabilitas Lahan dan Perhutanan Sosial (2001) luas hutan Mangrove di
Indonesia pada tahun 1999 diperkirakan mencapai 8.60 juta hektar akan tetapi
sekitar 5.30 juta hektar dalam keadaan rusak. Sedangkan data FAO (2007) luas
hutan Mangrove di Indonesia pada tahun 2005 hanya mencapai 3,062,300 ha atau
19% dari luas hutan Mangrove di dunia dan yang terbesar di dunia melebihi
Australia (10%) dan Brazil (7%).
Di Asia sendiri
luasan hutan mangrove indonesia berjumlah sekitar 49% dari luas total hutan
mangrove di Asia yang dikuti oleh Malaysia (10% ) dan Mnyanmar (9%). Akan
tetapi diperkirakan luas hutan mangrove diindonesia telah berkurang sekitar
120.000 ha dari tahun 1980 sampai 2005 karena alasan perubahan penggunaan lahan
menjadi lahan pertanian (FAO, 2007).
Data Kementerian
Negara Lingkungan Hidup (KLH) RI (2008) berdasarkan Direktoral Jenderal
Rehabilitasi lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS), Dephut (2000) luas
potensial hutan mangrove Indonesia adalah 9.204.840.32 ha dengan luasan yang
berkondisi baik 2.548.209,42 ha, kondisi rusak sedang 4.510.456,61 ha dan
kondisi rusak 2.146.174,29 ha. Berdasarkan data tahun 2006 pada 15 provinsi
yang bersumber dari BPDAS, Ditjen RLPS, Dephut luas hutan mangrove mencapai
4.390.756,46 ha.
Apapun bentuk
datanya, yang jelas hutan mangrove kita telah banyak yang berkurang. Konversi
lahan yang dilakukan oleh manusia terhadap areal hutan mangrove sebagai tambak,
areal pertanian dan pemukiman menyebabkan luas lahan hutan mangrove terus
berkurang. Selain itu pemanfaatan hutan mangrove yang tidak bertanggung jawab
sebagai bahan bangunan, kayu bakar dan juga arang memberi kontribusi yang tidak
sedikit terhadap kerusakan hutan mangrove.
Jadi…….Selamatkan Ekosistem Hutan Mangrove…!!!!!
Demi mengurangi dampak dari perubahan iklim global, demi masa depan planet bumi, demi masa depan anak cucu manusia, dan demi bumi yang lebih bersahabat bagi manusia.
JALESVEVA JAYAMAHE
DI LAUT KITA JAYA, DI DARAT KITA KAYA
Sumber acuan:Materi kuliah Hasil Laut Komersial. Pemanfaatan Hutan Mangrove dalam Hasil Laut Komersial Yang Berkelanjutan. Oleh Donny Juliandri Prihadi, S.Pi, M.Sc, Cpm

Penyelamatan Karang Serangan Patut Dicontoh
Upaya perbaikan karang laut di perairan Pulau Serangan, Denpasar, Bali, perlu ditularkan ke daerah lain dengan melibatkan penduduk setempat berlandaskan aspek sosial budaya dan ekonomi.
Demikian terungkap pada diskusi terbatas LSM peduli lingkungan, Telapak, di Denpasar, Selasa (20/4). Telapak bersama sejumlah pihak peduli kelestarian karang laut, berpartisipasi dalam aksi Hari Karang Indonesia, Kamis (22/4).
Di Bali, aksi itu akan dilakukan di beberapa lokasi, yaitu Desa Les, Pulau Serangan, Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan, serta Desa Bendalem, Kabupaten Buleleng.
Sedangkan di tingkat nasional, aksi itu juga dilaksanakan pada hari sama di Kepulauan Seribu, DKI Jaya, Pulau Hari di Sulawesi Tenggara, dan Pulau Maratua di Kalimantan Timur. Seluruhnya melibatkan berbagai organisasi, kalangan, dan warga di masing-masing kawasan.
Menurut salah seorang penyelam senior Indonesia yang juga penggagas aksi di Bali itu, Hidayat Prayogo, kampanye negatif yang menyalahkan banyak hal, mulai dari aturan dan hukum hingga pihak-pihak lain, sudah sangat ketinggalan zaman. Masyarakat ingin melihat alternatif nyata yang bisa mengangkat mereka dari kemiskinan.
Di Desa Les, Pulau Serangan, katanya, serangkaian penyuluhan dan penyadaran akan kelestarian karang laut bagi penduduk setempat telah dilaksanakan sejak tiga tahun lalu. Semula kerusakan karang dan biota laut di perairan Pulau Serangan sangat parah, mencapai 70 persen luasan karang laut yang ada. Warga desa nelayan itu memakai tuba dan bom ikan untuk menangkap ikan laut konsumsi dan ikan hias air asin. (Ant/OL-03)
Sumber : mediaindonesia.com

Maklumat Penyelamatan Pesisir dan Laut Nusantara
Lebih satu dekade upaya pemerintah menyelesaikan krisis kelautan, melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), tidak membuahkan hasil yang signifikan. Kini, ekonomi nelayan dan petambak semakin terpuruk, akibat lemahnya perlindungan pemerintah atas tambak-tambak dan perairan perikanan rakyat, minimnya permodalan, sulitnya mengakses bahan bakar, hingga teledor memberi berbagai kemudahan untuk pelaku usaha (termasuk asing) mengeksploitasi sumberdaya kelautan dan perikanan nasional secara tidak berkeadilan dan tidak berkelanjutan. Kami mendesak Pemerintah Republik Indonesia menghentikan janji-janji dan upaya pencitraan semata dan segera :
- Menuntaskan revitalisasi tambak Dipasena Lampung, dengan mengembalikan dan memulihkan hak-hak petambak dan pekerja, serta lingkungan hidup yang selama ini terpinggirkan oleh kepentingan korporasi.
- Menyegerakan penghapusan retribusi bagi kegiatan perikanan rakyat, sesuai perintah UU No.45/2009 tentang Perikanan.
- Menyediakan bahan bakar murah dan mudah bagi kegiatan perikanan rakyat.
- Menghentikan upaya penggusuran nelayan dan pembudidaya ikan tradisional dari tempat tinggalnya, maupun wilayah tangkapnya.
- Melakukan koreksi atas kebijakan negara yang sarat agenda privatisasi sumberdaya pesisir dan laut, yang anti kegiatan perikanan rakyat, semisal UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
- 6. Mengedepankan prinsip-prinsip tata kelola yang baik atas pengelolaan sumber daya perikanan tanpa utang dan memprioritaskan kebutuhan pangan nasional secara berdikari.
- Memastikan terpenuhinya hak-hak nelayan dan petambak sebagai warga negara maupun hak-hak istimewa sebagai pelaku kegiatan perikanan rakyat, dan memberikan perlindungan maksimal atas lahan dan perairan tradisionalnya.
- Meninjau-ulang perjanjian-perjanjian bilateral maupun multilateral terkait perdagangan perikanan yang merugikan perikanan nasional, seperti IJEPA (Indonesia Japan Economic Partnership) dan ACFTA (Asean China Free Trade Agreement)
- Menghentikan pencemaran pesisir dan laut oleh limbah tambang dan tumpahan minyak
- Mengakui peran perempuan sebagai salah satu pelaku utama kegiatan perikanan rakyat.
- Menghentikan perusakan wilayah pesisir dan penjualan pulau-pulau kecil.
Petambak Dipasena-Lampung (P3UW), Nelayan Teluk Jakarta, Nelayan Jawa Timur, Nelayan Jawa Tengah, WALHI, KIARA, JATAM, Bina Desa, KPA, LBH Jakarta, IHCS, Ocean Watch
Sumber : http://www.walhi.or.id

Melibatkan Masyarakat dalam Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut
Dewasa ini sumberdaya alam dan lingkungan telah menjadi barang langka akibat tingkat ekstraksi yang berlebihan (over-exploitation) dan kurang memperhatikan aspek keberlanjutan. Kendati ia secara ekonomi dapat meningkatkan nilai jual, namun di sisi lain juga bias menimbulkan ancaman kerugian ekologi yang jauh lebih besar, seperti hilangnya lahan, langkanya air bersih, banjir, longsor, dan sebagainya.
Kegagalan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup ditengarai akibat adanya tiga kegagalan dasar dari komponen perangkat dan pelaku pengelolaan. Pertama akibat adanya kegagalan kebijakan (lag of policy) sebagai bagian dari kegagalan perangkat hukum yang tidak dapat menginternalisasi permasalahan lingkungan yang ada. Kegagalan kebijakan (lag of policy) terindikasi terjadi akibat adanya kesalahan justifikasi para policy maker

PEMBANGUNAN PESISIR DAN LAUT TELUK PALU “Antara Harapan dan Bencana Masa Depan”
Wilayah pesisir
teluk palu terdiri atas 26 Desa/ Kelurahan yang masuk dalam wilayah
administrative Kab. Donggala dan Kota Palu dengan potensi SDA yang cukup besar,
baik yang berada disepanjang pesisir maupun yang ada diwilayah laut teluk palu.
Jika melihat model pembangunan disepanjang pesisir teluk palu yang saat ini
diterapkan oleh Pemda (Kab.Donggala dan Kota Palu) secara jelas dan nyata
adalah untuk Peningkatan PAD. Hal ini dapat dilihat dari beberapa bidang usaha
dipesisir teluk palu yang memberikan pemasukan terbesar bagi daerah yang
perkembangannya juga sangat pesat, yaitu tambang galian C, tempat wisata (rumah
makan/restoran, dan penginapan) dan

Reklamasi Pantai Loli disoroti
Kecaman itu diungkapkan
pihak Yayasan Bone Bula Donggala, Selasa (27/7) sekaitan adanya
reklamasi pantai untuk pembangunan beberapa kawasan pertambangan
kerikil. “Banyaknya pembukaan tambang galian C ini dapat mendatangkan
masalah baru seperti masalah ekologi dan sosial, apalagi kontribusi
perusahaan

Langganan:
Postingan (Atom)