Isu perubahan
iklim global, akhir-akhir ini merupakan wacana yang sedang menjadi pembicaraan
banyak kalangan dari berbagai negara di dunia. Terbukti dengan
diselenggarakannya Konferensi Perubahan Iklim 2009 (UN
Climate Change Conference 2009) atau lebih dikenal dengan sebutan COP 15
yang merupakan KTT internasional mengenai perubahan iklim. Konferensi ini
dibuka di Copenhagen (Denmark) pada hari Senin, 7 Desember 2009 dengan dihadiri
oleh sekitar 15-ribu utusan dari 192 negara. Konferensi yang berlangsung hingga
tanggal 19 Desember 2009 ini merupakan kesempatan yang baik dalam upaya
menjawab tantangan dampak perubahan iklim global.
Problematika
mendasar yang dihadapi dalam KTT PBB tentang Perubahan Iklim (UNCCC 2009) di
Copenhagen adalah tuntutan pengurangan emisi karbon dunia. Hampir sebagian
besar komunitas internasional mendesak agar dunia menghentikan segera
pertumbuhan emisi gas rumah kaca, baik yang ditimbulkan oleh negara-negara industri
maju (USA, Uni Eropa, dan Jepang) maupun negara-negara ekonomi baru (China dan
India). Pengurangan emisi tersebut harus berada di bawah ambang batas yang
ditargetkan selama ini. Nilainya sekitar 25% hingga 40%. Bagi banyak aktivis
lingkungan, angka pengurangan itu malah secara radikal harus ditingkatkan
menjadi 80% hingga 95% pada tahun 2050 agar dampak perubahan iklim tidak sampai
menaikkan suhu global sampai dua derajat Celcius pada tahun tersebut.
Ironisnya, dalam hal ini masih terus terjadi tarik menarik kepentingan antar
negara, utamanya antara negara industri maju dan negara-negara ekonomi baru.
Apa dan
bagaimanakah fenomena perubahan iklim itu….?????
Secara umum iklim
terbentuk sebagai hasil dari interaksi proses-proses fisik dan kimiafisik berbagai
parameternya, seperti suhu, kelembaban, angin, dan pola curah hujan yang
terjadi pada suatu tempat di muka bumi. Untuk mengetahui kondisi iklim suatu
tempat, diperlukan nilai rata-rata parameter tersebut selama kurang lebih 30
tahun. Iklim muncul akibat dari pemerataan energi bumi yang tidak tetap dengan
adanya perputaran/revolusi bumi mengelilingi matahari selama kurang lebih 365
hari serta rotasi bumi selama 24 jam. Hal tersebut menyebabkan radiasi matahari
yang diterima berubah tergantung lokasi dan posisi geografis suatu
daerah. Daerah yang berada di posisi sekitar 23,5 Lintang Utara – 23,5
Lintang Selatan, merupakan daerah tropis yang konsentrasi energi suryanya
surplus dari radiasi matahari yang diterima setiap tahunnya.
Secara alamiah
sinar matahari yang masuk ke bumi, sebagian akan dipantulkan kembali oleh
permukaan bumi ke angkasa. Sebagian sinar matahari yang dipantulkan itu akan
diserap oleh gas-gas di atmosfer yang menyelimuti bumi yang disebut gas rumah
kaca, sehingga sinar tersebut terperangkap dalam bumi. Peristiwa ini dikenal
dengan efek rumah kaca (ERK) karena peristiwanya sama dengan rumah kaca, dimana
panas yang masuk akan terperangkap di dalam rumah kaca dan tidak dapat menembus
ke luar kaca, sehingga dapat menghangatkan seisi rumah kaca tersebut.
Gas rumah kaca
(GRK) adalah gas yang pada saat terakumulasi di atmosfer akan menciptakan
selubung yang kemudian menimbulkan gangguan pada proses pelepasan panas dari
bumi ke luar lapisan atmosfer. Gas yang memungkinkan untuk hal tersebut terjadi
adalah berupa karbondioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (N2O),
hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs) dan Sulphur hexafluoride
(SF6). GRK yang berada di atmosfer tersebut dihasilkan dari berbagai kegiatan
manusia terutama yang berhubungan dengan pembakaran bahan bakar fosil (minyak,
gas, dan batubara) seperti pada pembangkit tenaga listrik, kendaraan bermotor,
AC, komputer, dan lain sebagainya. Selain itu GRK juga dihasilkan dari
pembakaran dan penggundulan hutan serta aktivitas pertanian dan peternakan. GRK
yang dihasilkan dari kegiatan tersebut, seperti karbondioksida, metana, dan
nitroksida, bisa menyebabkan meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer.
Berubahnya
komposisi GRK di atmosfer, yaitu meningkatnya konsentrasi GRK secara global
akibat kegiatan manusia menyebabkan sinar matahari yang dipantulkan kembali
oleh permukaan bumi ke angkasa, sebagian besar terperangkap di dalam bumi
akibat terhambat oleh GRK tadi. Meningkatnya jumlah emisi GRK di atmosfer pada
akhirnya menyebabkan meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi, yang kemudian
dikenal dengan Pemanasan Global. Karena suhu adalah salah satu parameter dari
iklim dan berpengaruh pada iklim bumi, maka terjadilah perubahan iklim secara
global.
Pemanasan global
dan perubahan iklim menyebabkan terjadinya kenaikan suhu bumi, mencairnya es di
kutub, kenaikan paras muka air laut dan gelombang pasang, bergesernya garis
pantai, musim kemarau yang berkepanjangan dan periode musim hujan yang semakin
singkat namun semakin tinggi intensitasnya, Hal-hal ini kemudian akan
menyebabkan tenggelamnya beberapa pulau dan berkurangnya luas daratan,
pengungsian besar-besaran, gagal panen, krisis pangan, banjir, wabah penyakit,
dan lain-lainnya
Apa,
mengapa dan bagaimana Mangrove bisa berperan sebagai pengurang dampak perubahan
iklim……?????
Apabila dilihat
dari struktur katanya, mangrove berasal dari dua kata yaitu mangue/mangal
(Portugish) dan grove (English). Secara umum mangrove dapat didefinisikan
sebagai vegetasi tanaman yang hidup di daerah pesisir diantara garis pasang
surut (pantai, laguna, muara sungai) dengan komunitas tumbuhan yang hidup
di ekosistem mangrove tersebut adalah tumbuhan yang bersifat halophyte, atau
tumbuhan yang mempunyai toleransi tinggi terhadap tingkat keasinan (salinity)
air laut, contohnya adalah jenis pohon Avicennia, Sonneratia, Rhizophora,
Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Egiceras, Scyphyphora
dan Nypa.
Hutan mangrove
yang merupakan ekosistem peralihan antara darat dan laut, sudah sejak lama
diketahui mempunyai fungsi ganda dan merupakan mata rantai yang sangat penting
dalam memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan. Hutan mangrove
juga memberikan manfaat pada masyarakat, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung yaitu sebagai sumber penghasil kayu bakar dan arang,
bahan bangunan, bahan baku pulp untuk pembuatan rayon, sebagai tanin untuk
pemanfaatan kulit, bahan pembuat obat-obatan, dan sebagainya. Secara tidak
langsung hutan mangrove mempunyai fungsi fisik yaitu menjaga keseimbangan
ekosistem perairan pantai, melindungi pantai dan tebing sungai dari pengikisan
atau erosi, menahan dan mengendapkan lumpur serta menyaring bahan tercemar.
Selain itu,
bersama dengan ekosistem pesisir lainnya, yaitu padang lamun dan terumbu
karang, ekosistem mangrove memegang peranan yang sangat vital dalam mitigasi
perubahan iklim melalui penyerapan karbon/emisi CO2 yang merupakan gas rumah
kaca. Proses fotosentesis mengubah karbon anorganik (C02) menjadi karbon
organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini
membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai (C02). Akan tetapi
hutan mangrove justru mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak
membusuk. Karena itu, hutan bakau lebih berfungsi sebagai penyerap karbon
dibandingkan dengan sumber karbon.
Manfaat mangrove
yang begitu besar, telah berperan serta dalam menunjang kehidupan manusia dan
lingkungannya. Namun demikian, manfaat yang sedemikian besar tersebut
seringkali terlupakan, bahkan menjadi terancam karena pemanfaatan mangrove yang
tidak ramah lingkungan.
Luas ekosistem
mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau
sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia
adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Sebaran mangrove di
Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas
penyebaran mangrove terus mengalami penurunan. Berdasarkan data Direktorat
Jendral Rehabilitas Lahan dan Perhutanan Sosial (2001) luas hutan Mangrove di
Indonesia pada tahun 1999 diperkirakan mencapai 8.60 juta hektar akan tetapi
sekitar 5.30 juta hektar dalam keadaan rusak. Sedangkan data FAO (2007) luas
hutan Mangrove di Indonesia pada tahun 2005 hanya mencapai 3,062,300 ha atau
19% dari luas hutan Mangrove di dunia dan yang terbesar di dunia melebihi
Australia (10%) dan Brazil (7%).
Di Asia sendiri
luasan hutan mangrove indonesia berjumlah sekitar 49% dari luas total hutan
mangrove di Asia yang dikuti oleh Malaysia (10% ) dan Mnyanmar (9%). Akan
tetapi diperkirakan luas hutan mangrove diindonesia telah berkurang sekitar
120.000 ha dari tahun 1980 sampai 2005 karena alasan perubahan penggunaan lahan
menjadi lahan pertanian (FAO, 2007).
Data Kementerian
Negara Lingkungan Hidup (KLH) RI (2008) berdasarkan Direktoral Jenderal
Rehabilitasi lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS), Dephut (2000) luas
potensial hutan mangrove Indonesia adalah 9.204.840.32 ha dengan luasan yang
berkondisi baik 2.548.209,42 ha, kondisi rusak sedang 4.510.456,61 ha dan
kondisi rusak 2.146.174,29 ha. Berdasarkan data tahun 2006 pada 15 provinsi
yang bersumber dari BPDAS, Ditjen RLPS, Dephut luas hutan mangrove mencapai
4.390.756,46 ha.
Apapun bentuk
datanya, yang jelas hutan mangrove kita telah banyak yang berkurang. Konversi
lahan yang dilakukan oleh manusia terhadap areal hutan mangrove sebagai tambak,
areal pertanian dan pemukiman menyebabkan luas lahan hutan mangrove terus
berkurang. Selain itu pemanfaatan hutan mangrove yang tidak bertanggung jawab
sebagai bahan bangunan, kayu bakar dan juga arang memberi kontribusi yang tidak
sedikit terhadap kerusakan hutan mangrove.
Jadi…….Selamatkan Ekosistem Hutan Mangrove…!!!!!
Demi mengurangi dampak dari perubahan iklim global, demi masa depan planet bumi, demi masa depan anak cucu manusia, dan demi bumi yang lebih bersahabat bagi manusia.
JALESVEVA JAYAMAHE
DI LAUT KITA JAYA, DI DARAT KITA KAYA
Sumber acuan:Materi kuliah Hasil Laut Komersial. Pemanfaatan Hutan Mangrove dalam Hasil Laut Komersial Yang Berkelanjutan. Oleh Donny Juliandri Prihadi, S.Pi, M.Sc, Cpm
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda