'/>
Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Moratorium Rentan Konflik

Jakarta, Kompas - Tanpa perbaikan tata kelola hutan, pemberlakuan jeda tebang nasional hanya akan memicu konflik di masyarakat. Salah satu contoh adalah proyek percontohan restorasi dan jeda tebang hutan di area konsesi PT Restorasi Ekosistem Indonesia di Jambi.
”Tata kelola hutan kita bermasalah, misalnya soal tapal batas. Tanpa perbaikan itu, moratorium hanya memicu masalah baru,” kata Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Deddy Ratih di Jakarta, Senin (14/2).
Menurut dia, rencana moratorium di Indonesia lebih didorong oleh kompensasi 1 miliar dollar Amerika Serikat dari Norwegia daripada membenahi tata kelola kehutanan. Draf yang diajukan Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Kehutanan bahkan tak menyebut perubahan tata kelola.
Pengelolaan hutan juga masih ditumpukan kepada Kementerian Kehutanan. Padahal, seperti diungkap Guru Besar Kebijakan Kehutanan Institut Pertanian Bogor Hariadi Kartodihardjo, Kementerian Kehutanan merupakan bagian dari masalah kehutanan di Indonesia.
”Kalau mau dimoratorium, tahap awal harus ada koreksi izin-izin lama. Lalu masuk penentuan kawasan mana saja yang dimoratorium dan di mana batasnya. Bahkan, batas-batas ini harus dinegosiasikan ulang jika memang ada masyarakat di kawasan itu,” kata Deddy.
Deddy mengatakan, tata batas wilayah kehutanan yang kacau terbukti memicu konflik. Misalnya, kasus di Way Pisang, Lampung. Masyarakat desa tiba-tiba dikagetkan oleh status desa yang dinyatakan berada dalam kawasan hutan produksi. Padahal, desa itu sudah definitif sejak 1970-an. ”Kasus seperti ini banyak terjadi, termasuk di Kalimantan Tengah yang akan menjadi proyek percontohan,” tuturnya.
Kasus Jambi
Kasus lain adalah konflik lahan antara petani dan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki) yang mendapat konsesi lahan seluas 100 hektar di Jambi dan Palembang. Kawasan itu dulunya konsesi Inhutani V dan PT Asialog Persada. PT Reki akan memperbaiki kawasan hutan rusak dengan memberlakukan jeda tebang hingga 60 tahun untuk dijadikan salah satu proyek percontohan Reduction Emission from Deforestation and Degradation (REDD+) sejak 2007.
”Sebelum PT Reki datang, sebagian area dalam konsesi itu diduduki petani. Tak semua petani. Kami mengidentifikasi ada kelompok yang dimobilisasi oknum polisi dan cukong kayu. Hampir 5.000 hektar di kawasan Jambi diokupasi perambah,” kata Direktur Community Alliance for Pulp and Paper Advocacy (CAPPA) Rivani Noor, yang berbasis di Jambi. Kasus terakhir pemukulan terhadap petani yang diduga merambah hutan di konsesi PT Reki oleh petugas jaga hutan.
      Presiden Direktur PT Reki Effendy A Sumardja mengakui, moratorium hutan di area konsesinya memicu konflik baru. Konflik itu terutama dipicu tapal batas hutan yang tak jelas. ”Tantangannya banyak. Yang utama adalah masyarakat sekitar. Mereka merasa sudah lama memanfaatkan hutan, kenapa sekarang dilarang. Kami mewarisi area konsesi yang tapal batasnya bermasalah,” paparnya.
Oleh karena itu, PT Reki terpaksa bernegosiasi ulang dengan masyarakat soal tapal batas. ”Mana yang betul-betul sulit untuk dinegosiasi akan dikeluarkan dari area konsesi. Sebelumnya, pemerintah (Kementerian Kehutanan) ternyata tidak melibatkan masyarakat dalam membuat tapal batas,” katanya.
Soal inpres
Terkait instruksi presiden (inpres) soal jeda tebang yang hingga kini belum ditandatangani, pemerintah mengaku memikirkan banyak aspek. ”Kita memikirkan aspek pangan, juga lahan bagi infrastruktur dan lainnya. Jadi, jangan asal tidak boleh (melarang menebang), lalu kita sendiri mandek (berhenti). Jangan,” kata Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa.
Hatta menampik tudingan bahwa dalam pembahasan rancangan inpres ada tarik-menarik antara kepentingan melindungi alam dan pelaku usaha. ”Jangan dibawa ke sana itu (tarik-menarik kepentingan). Tidak ada. Yang ada, semua pihak harus diajak omong dulu,” katanya.
Dari Aceh dikabarkan, hampir separuh hutan di Aceh dan Sumatera Utara hilang dalam kurun waktu 24 tahun. Hal itu disebabkan alih fungsi lahan untuk kelapa sawit, perkebunan dan persawahan, dan perambahan kayu hutan. (AIK/HAR/HAN)

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda