PALU-Posisi perempuan
di tengah masyarakat tidak bissa lagi disepelehkan. Keberdaan mereka menjadi
penentu atas sebuah keputusan besar,sudah menjadi keniscayaan.Dalam konteks
implementasi program pengurangan pelepasan emisi karbon co2 keudara melalui
pencegahan perubahan fungsikawasan hutan dan penurunan kwalitas hutan atau
dalam istilah popularnya Reducing
Emission From Deforestation and Degradation (REDD) pada tahun 2012
nanti,posisi perempuan tak bisa ditawar-tawar.
Hal tersebut dikatakan anggota Pokja
Pantau REDD sulteng,Mutmainah Koronba,saat diskusi dalam media breefing dengan sejumlah wartawan di Plau,selasa (16/5).
Menurutnya,hal
itu penting sebab kaitan antara hutan dan perempuan sangat erat.Dalam konteks
RDD,sangat jelas bisa dipetakan.Orientasi program yang di prakarsasi Negara
maju ini adalah hutan,yakni bagaimana hutan bisa dijaga,bisa menyerap emisi dan
bisa menyimpannya di pohon (kayu) sehingga pembuangan gas rumah kaca ke udara
menjadi berkurang.
Di wilayah
Kecamatan Lore Utara dalam Lore Piore
Kabupaten Poso misalnya, Kata Mutmainah,di wilayah itu para perempuan dengan
kearifan lokalnya mengolah hasil hutan bukan kayu seperti pandan besar (NIPA)
dianyam menjadi tikar,ranting-ranting pohon kayu bakar,madu hutan dan lain
sebagainya diambil dan dijual untuk pemenuahan kebutuhan sehari-hari.
Hal semacam
itulah yang dikhawatirkan,bisa terhambat(dibatasi) jika implementasi REDD pada
tahun 2012 nantinya
Oleh karena
itu,kata Mutmainah dalam implementasi REDD,perempuan harus terlibat dalam
pengambilan keputusan,akses informasi dan semacamnya yang termasuk dalam
komponen prinsip persetujuan tanpa paksaan atas informasi awal atau Free Prior and Informend Consent (FPIC).Dalam
tahap ini,perempuan harus didengar suaranya dan tidak hanya ditempatkan sebagai
obyek pelengkap saja.
Sumber : Media Alkhairaat
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda