Geger KPH Dampelas Tinombo
Desa Talaga dengan danaunya yang indah itu, mendadak geger.
Masyarakat rumpun Dampelas di Kabupaten Donggala itu bingung dengan kehadiran kawasan lindung, dengan sebutan
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Dampelas Tinombo, seluas 100.912 Ha.Tak seorangpun di kampung itu yang tahu, kapan kawasan
tersebut ditetapkan. Yang mereka tahu, bahwa pada tahun 2009, kawasan itu ditetapkan secara sepihak oleh Menteri
Kehutanan di Jakarta, tanpa pernah ada konsultasi dengan masyarakat setempat.
Informasi
tentang adanya KPH Dampelas Tinombo bersumber dari Kelompok Kerja Pemantauan
REDD Sulawesi Tengah. Melalui organisasi ini, masyarakat seluruh Kecamatan
Dampelas kemudian tahu bahwa sebahagian wilayah di sekitar mereka sudah menjadi kawasan lindung. Peruntukan kawasan lindung tersebut dengan
model KPH tidak hanya membingungkan masyarakat, tapi juga pemerintah di level kabupaten,
baik yang di Donggala maupun di Parigi Moutong. Mengingat bahwa KPH Dampelas Tinombo melingkupi dua wilayah
kabupaten.
"Bagi
kami, tanah satu meter lebih berharga daripada duit satu juta
rupiah", ungkap Pak Kamrun, petani
yang di ladangnya kini telah dipatok masuk ke dalam kawasan
KPH. Betapa geramnya dia, ladang tempatnya mencari nafkah untuk keluarga, tiba-tiba telah dipasangi patok
penanda kawasan. "Patok itu tiba-tiba sudah tertanam di ladang kami,” ujarnya lagi. Kegeraman itu kembali
menyeruak dan disuarakan ketika dialog publik di gelar di Desa Talaga, pada awal Desember 2011. Masyarakat setempat
serta perwakilan dari kampung lainnya meminta agar Pokja Pemantauan REDD dan PUSAKA memediasi persoalan ini
kepada pemerintah.
"Proses penetapan KPH semacaam siluman, kalau begini caranya,
pemerintah mengebiri rakyatnya
sendiri," ujar Emil Kleden dari PUSAKA. Riwayat
tentang penetapan KPH Dampelas Tinombo yang dimulai sejak tahun 2009, memang menyimpan misteri. Tak pernah seorangpun
yang tahu, siapa di balik pengusulan kawasan tersebut. Bahkan, ketika Pokja Pemantauan REDD menanyakan
soal ini ke Dinas Kehutanan Donggala, mereka pun tidak tahu sama sekali. Hal yang sama juga sangat kabur di
pihak Dinas Kehutanan Parigi Moutong.
Beberapa kali
kami mencoba mencari dokumen di website Kementerian Kehutanan yang bercerita
tentang riwayat pengusulannya. Namun, hingga detik ini, kami tidak
memperoleh gambaran tentang proses penetapan itu. Yang ada hanya sebuah Surat Keputusan Menteri Kehutanan bernomor
792/Menhut-II/2009 tentang penetapan KPH Dampelas Tinombo beserta sebuah peta lampiran .
Dari banyak
riwayat yang kami temukan di berbagai media dan sumber tertulis, umumnya hanya
mengulas tentang fungsi KPH sebagai salah satu kawasan lindung yang
sewaktu-waktu dapat dikelola untuk peruntukan tertentu dan terbatas. Sebahagian menyatakan bahwa KPH dapat saja
dikelola oleh masyarakat, tapi dengan jenis kegiatan tertentu yang telah ditetapakn dan disetujui oleh pemerintah. Seperti
untuk hutan tanaman rakyat (HTR). Seperti halnya yang disampaikan oleh Kepala UPT KPH Dampelas Tinombo dalam
dialog publik di Talaga.
Berkaitan
dengan kegusaran dan ketidaknyamanan yang dirasakan oleh masyarakat di
Kecamatan Dampelas terkait KPH Dampelas & Tinombo.
Relasi KPH dan Proyek REDD
Banyak rumor
yang berkembang bahwa penetapan kawasan KPH dipersiapkan untuk ujicoba maupun
implementasi proyek REDD. Rumor itu sendiri seringkali berkembang di
lingkungan Dinas Kehutanan Povinsi Sulawesi Tengah . Sehingga, banyak kelompok kepentingan hutan di Sulawesi
Tengah meyakini bahwa kawasan KPH bersama dengan kawasan Taman Nasional, akan mendapat prioritas dalam
ujicoba dan implementasi REDD+ di kemudian hari. Karena itu, masyarakat adat maupun masyarakat lokal yang hidup di
dalam dan sekitar kawasan KPH, memiliki hak untuk memperoleh dan mengakses informasi terkait KPH dan REDD+.
Jika mendasari
respon masyarakat setempat terkait isu KPH dan REDD+, dapat disimpulkan kalau
mereka meragukan kedua hal tersebut. Selain karena KPH dan REDD+ muncul
secara tiba-tiba di halaman rumah mereka, informasinya pun tidak bersumber dari pemerintah. Padahal, pemerintah yang
berkepentingan langsung dengan kedua hal itu. Oleh sebab itu, masyarakat setempat menilai bahwa KPH dan REDD+ sengaja
didatangkan tiba-tiba agar mereka tidak siap. Sehingga bakal memuluskan rencana-rencana tersebut yang
belum tentu bermanfaat bagi masyarakat.
Pokja Pemantauan REDD Sulawesi Tengah menilai bahwa sikap
masyarakat itu dilandasi oleh engalaman panjang mereka terhadap pengelolaan
hutan di daerah ini. Pertama, lemahnya tata kelola kehutanan, sehingga manfaat pengelolaan
hasil hutan kayu dan non-kayu tidak berdampak pada perbaikan kesejahteraan
masyarakat dan peningkatan kas negara. Kedua, tata ruang yang tidak efektif,
yang menyebabkan tumpang tindih perizinan dalam satu kawasan yang sama. Ketiga,
status hak tenurial bermasalah, karena terampasnya tanah-tanah komunal yang
selama ini dijadikan wilayah kelola rakyat untuk kepentingan investasi.
Keempat, penegakan hukum lemah, yang berdampak pada diskriminasi hukum terhadap
kelompok masyarakat kecil, tapi menguntungkan investor. Kelima, belum
efektifnya unitunit manajemen kehutanan, yang berdampak pada pelemahan posisi
pemerintah dalam tata kelola hutan .
Berdasarkan
kekhawatiran itu pula, pada dialog yang mempertemukan delegasi masyarakat
Dampelas dan Tinombo dengan Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah tanggal 16 Januari
2012 di Palu, masyarakat Dampelas dan Tinombo menyampaikan manifestonya.
Pertama, mendesak pemerintah meninjau ulang penetapan KPH Dampelas Tinombo yang
tidak partisipatif prosesnya. Kedua, tapal-batas kawasan KPH yang sudah
dikukuhkan sebelumnya agar direvisi kembali, dengan melibatkan masyarakat
setempat dalam penata batasan. Ketiga, mendesak pemerintah agar ujicoba maupun implementasi
REDD+ harus sejalan dengan prinsip padiatapa dan rambu keselamatan. Kelima,
REDD+ harus menjadi instrumen dalam membantu pemulihan deforestasi dan
degradasi hutan, bukan sebagai proyek Kehutanan yang berorientasi duit.
Danau Dampelas Sebagai Logos, Bukan Mitos
Sungguh, kami
benar-benar terkejut. Ternyata mitos manusia setengah dewa yang perkasa dari
tanah bugis, Sawerigading, harus berakhir di Tano Dampelas. Singkat cerita,
saat Sawerigading berlayar di Selat Makassar, armada perangnya terdampar di
Tano Dampelas karena dihantam badai di lautan. Seluruh prajurit dan pengikut
setianya tewas, kecuali Sawerigading seorang.
Dalam
keputusasaan mencari pertolongan, tiba-tiba dirinya bertemu seorang kakek tua.
Kakek tua itu sudah tahu apa yang menimpa Sawerigading dan armadanya. Oleh
sebab itu, dia menyarankan kepada Sawerigading agar menggunakan sisa-sisa
kekuatan magisnya. Dengan tujuan untuk membangkitkan kembali laskar-laskar
setianya. Begitu Sawerigading selesai melafaz mantra, yang berhasil bangkit
kembali hanya 7 orang.
Namun, begitu
si kakek tua selesai membaca mantranya, maka seluruh laskar dan pengiring
Sawerigading tersebut bangkit kembali. Alkisah, menangislah Sawerigading di
hadapan kakek tua nan bijak itu, sambil memohon kiranya kesombongannya
diampuni, dan dia diizinkan pulang ke kampung halaman beserta armadanya.
Sebagai syarat dari permintaan itu, Sawerigading diharuskan berendam selama 7
hari 7 malam di tengah Danau Dampelas dan meminum airnya sebanyak 7 tegukan.
Setelah selesai melaksanakan syarat magi situ, akhirnya Sawerigading beserta
laskar dan pengiringnya berhasil berlayar pulang ke kampung halamannya.
Tapi, Pak
Ibrahim berpesan kepada kami bahwa citra Danau Dampelas harus dipandang sebagai
suatu sumber logos (ilmu pengetahuan) bagi masyarakat setempat. Sebaliknya, ia
jangan dipandang sebagai sumber mitos (rekaan). Sebab, bagi masyarakat
setempat, danau tersebut lebih dari sekedar sebuah danau. Selain sebagai suatu
ekosistem air dan hutan yang saling terkait, danau itu juga menjadi inspirasi
hidup yang berkepanjangan bagi masyarakat dalam memelihara dan merawat suatu
sumber daya alam yang luar biasa potensinya.
Berbekal dari
pengalaman empiris leluhur Dampelas yang diturunkan secara turun-temurun kepada
generasi selanjutnya. Dari danau seluas 542,86 Ha atau sekitar 7 Km persegi
itu, masyarakat memperoleh banyak manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan.
Dimulai dari kearifan lokal memelihara, merawat dan melestarikan ekosistem
danau, maka masyarakat hingga kini masih tetap dapat beproduksi dengan baik.
Dengan memanfaatkan hasil hutan non kayu dari hutan di sekeliling danau.
Sekaligus, berladang di pinggiran hutan yang diperbolehkan berdasarkan
konservasi komunitas.
Karena itu
pula, danau yang kerap juga disebut Danau Talaga itu, harus diperlakukan
sebagai mana mestinya. Sikap dan pandangan ini, juga ingin mengkritisi cara
pemerintah dalam memandang Danau Dampelas. Di mana danau hanya dipandang
sebagai objek materil, dengan membungkusnya dalam kebijakan festifal tahunan
Danau Dampelas. Sekaligus, ingin mengkritisi dan menggugat rencana pemerintah
yang ingin mengintegralkan Danau Dampelas ke dalam kawasan KPH, untuk
kepentingan ujicoba REDD+. Apalagi, sampai mematok pal batas KPH di sekeliling
danau, seperti yang terjadi di ladang Pak Kamrun, tidak jauh dari danau.
“Kami akan
tetap menjaga dan merawat danau ini dan segenap potensinya, ada atau tanpa
kontribusi dari pemerintah, karena danau ini identitas lokal
Dampelas,"
ujar Pak Ibrahim, menutup pembicaraan pada sore hari itu.Penulis : Azmi Zirajuddin
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda